Mukaddimah Penulis

بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah yang kami senantiasa memuji, minta tolong, dan minta ampun kepada-Nya; sebagaimana kami senantiasa berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri kami dan kejelekan amalan kami. Barangsiapa diberi hidayah oleh Allah maka tak seorang pun bisa menyesatkannya; dan barangsiapa disesatkan oleh Allah maka tak seorang pun yang dapat memberinya hidayah. Aku bersaksi bahwa tiada ilah melainkan Allah; dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad e adalah hamba Allah dan utusan-Nya; yang diutus kepada manusia dengan membawah petunjuk dan agama yang haq, agar Allah memenangkan agama itu diatas seluruh agama lainnya, dan cukuplah Allah sebagai saksinya. Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawat dan salam-Nya kepada beliau.

‘Amma ba’du:

Ini merupakan suatu masalah yang perlu diketahui oleh kaum mukminin pada umumnya, dan khususnya para mujahidin; meskipun iman itu sendiri tidak akan sempurna tanpa adanya jihad[1]. Sebagaimana firman Allah ta’ala:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah mereka yang mempercayai Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak ragu sedikitpun; kemudia mereka berjihad di jalan Allah…” (Al Hujurat:15).

Namun demikian, jihad selain ditujukan kepada orang-orang kafir, juga ditujukan kepada orang-orang munafik. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan munafikin, dan berlaku keraslah terhadap mereka”, yang termaktub dalam dua tempat dalam kitab-Nya (At Taubah:73 dan At Tahrim:9).

Jihad dapat dilakukan baik dengan harta maupun jiwa[2], sebagaimana firman Allah U : “Dan berjihadlah kamu dengan harta dan jiwamu di jalan Allah” (At Taubah:41). Dan bisa juga dengan selain itu; dengan mensuplai kebutuhan para mujahid misalnya. Sebagaimana yang terdapat dalam Shahihain, dari Nabi e bahwa beliau bersabda:

مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا فَقَدْ غَزَا, وَمَنْ خَلَفَهُ فيِ أَهْلِهِ بِخَيْرٍ فَقَدْ غَزَا .

“Barang siapa menyiapkan keberangkatan seorang tentara Islam, berarti ia ikut berperang; dan barang siapa menjamin kebutuhan keluarga yang ditinggalnya dengan baik, berarti ia juga ikut berperang”.[3]

Selain dari itu, jihad juga bisa dilakukan dengan tangan, hati, maupun lisan. Sebagaimana sabda Rasulullah e:

جَاهِدُوْا الْمُشْرِكِيْنَ بِأَيْدِيْكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ.

“Berjihadlah kamu melawan orang-orang musyrik dengan tangan, lisan dan harta kalian” [4]. Dan sebagaimana sabda beliau e lainnya dalam sebuah hadits shahih:

إِنَّ بِالْمَدِيْنَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيْرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِياً إِلاَّ كَانـُوا مَعَكُمْ حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ.

“Sesungguhnya, di Madinah ada orang-orang yang kemana pun kalian pergi mengarungi lembah dan sahara, mereka selalu menyertai kalian; mereka tertahan oleh suatu udzur” [5]. Mereka semua jihadnya ialah dengan hati dan doa mereka.

Allah U berfirman dalam Al Qur’an:

“Tidaklah sama antara mukmin yang tidak ikut berjihad tanpa udzur, dengan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya satu deRajat di atas orang-orang yang tidak ikut berjihad. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga), dan Allah melebihkan para mujahidin dengan pahala yang besar di atas orang yang tidak berjihad” (An Nisa’:95).

Rasulullah e juga bersabda:

السَّاعِي فِي الصَّدَقَةِ بِالْحَقِّ كَالْمُجَاهِدِ فيِ سَبِيْلِ اللهِ.

“Orang yang berusaha mengumpulkan zakat dengan cara yang haq itu laksana mujahid fi sabilillah”[6]. Beliau e juga bersabda:

«الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي اللَّهِ».

“Seorang mujahid ialah orang yang melawan hawa nafsunya karena Allah” [7]. Demikian pula sabda beliau e lainnya yang berbunyi:

الْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ ْ. وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ, وَالْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ.

“Seorang mukmin ialah orang yang manusia merasa bahwa harta dan jiwa mereka aman darinya, dan seorang muhajir ialah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah, sedang seorang muslim ialah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya” [8].

Jihad fi sabilillah bisa bermacam-macam bentuknya, yang membedakan satu sama lain adalah ketulusan niat dan sejauh mana keselarasannya dengan syari’at. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam As Sunan, dari Muadz t bahwa Rasulullah e bersabda:

الْغَزْوُ غَزْوَانِ فَأَمَّا مَنِ ابْتَغَى وَجْهَ اللَّهِ وَأَطَاعَ الإمَامَ وَأَنْفَقَ الْكَرِيمَةَ وَاجْتَنَبَ الْفَسَادَ كَانَ نَوْمُهُ وَنُبْهُهُ أَجْرًا كُلُّهُ وَأَمَّا مَنْ غَزَا فَخْرًا وَرِيَاءً وَسُمْعَةً وَعَصَى الإمَامَ وَأَفْسَدَ فِي الأَرْضِ فَإنَّهُ لاَ يَرْجِعُ بِالْكَفَافِ.

“Perang itu ada dua; orang yang berperang karena mencari ridha Allah, kemudian ia taat kepada komandannya, menginfakkan yang paling berharga, dan menghindari kerusakan, maka baik tidur maupun terjaganya akan mendapat pahala; adapun orang yang berperang karena ketenaran, riya’, dan sum’ah, kemudian membangkang kepada komandan serta berbuat kerusakan di muka bumi, maka ia tidak akan pulang tanpa memikul dosa” [9].

Dalam Ash Shahihain dari Abu Musa Al Asy’ari t katanya; Rasulullah e pernah ditanya: “Ya Rasulullah, ada orang yang berperang karena keberaniannya, dan ada yang berperang karena membela sukunya; mana diantara mereka yang perangnya fi sabilillah?” jawab beliau: “Siapa saja yang berperang demi meninggikan kalimat Allah, maka dia berperang fi sabilillah” [10]. Allah U berfirman yang artinya: “Dan perangilah mereka hingga tidak ada lagi fitnah yang tersisa, dan hingga agama itu semata-mata untuk Allah” (Al Baqarah:193).

Sampai kepada akar permasalahan, yaitu berkenaan dengan seseorang atau sekelompok orang yang berperang melawan musuh, yang jumlahnya lebih dari dua kali lipat jumlah mereka, akan tetapi peperangan tersebut membawa kemaslahatan bagi Islam; padahal mereka berasumsi kuat bahwa mereka akan terbunuh.

Seperti seseorang yang menerobos ke barisan musuh seorang diri; yang dinamakan oleh para ulama dengan ‘Meleburkan diri ke tengah-tengah musuh’. Dalam kondisi seperti ini, orang tadi pasti akan diluluh-lantakkan musuhnya, sebagaimana luluhnya larutan dalam pelarutnya…

Atau seseorang yang berhasil membunuh beberapa pentolan kekafiran di tengah-tengah para pengawalnya; misalnya dengan menyergapnya secara terang-terangan, dan ia menduga kuat akan berhasil menewaskannya dan tidak mempedulikan lagi nasibnya setelah itu…

Atau seseorang yang pasukannya mengalami kekalahan, kemudian ia bertempur seorang diri, atau bersama sekelompok orang melawan musuhnya sampai dapat menimpakan kerugian (nikayah)[11] bagi musuh tadi; meski mereka mengira bahwa mereka akan mati karenanya… Ini semuanya dibolehkan menurut sebagian besar ulama, baik dari mazhab yang empat maupun yang lainnya. Dan tidak ada khilaf dalam masalah ini, kecuali khilaf yang syadz (nyeleneh) [12]. Adapun para Imam yang menjadi panutan seperti Imam Asy Syafi’ie[13], Imam Ahmad[14], dan yang lainnya, maka mereka terang-terangan menyatakan bolehnya hal ini; demikian pula mazhab Imam Abu Hanifah[15], Imam Malik[16] dan yang lainnya.

Dalil-dalil untuk permasalahan ini terdapat dalam Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma’ para salaf.


[1] Syaikhul Islam –rahimahullah– berkata: “Jihad adalah kesempurnaan iman dan puncak ketinggian dalam beramal” (Majmu’ Fatawa 15/401).

[2] Syaikhul Islam –rahimahullah– berkata: “Peperangan memang membutuhkan pengorbanan jiwa raga, dan pengorbanan harta. Jika ada orang yang siap berkorban dengan badannya, kemudian orang lain siap dengan hartanya, diiringi tekad bulat masing-masing dari mereka; maka keduanya dianggap sebagai mujahid sesuai dengan kebulatan tekad dan batas kemampuannya. Sebagaimana orang yang berangkat perang harus meninggalkan pengganti yang mengurus keluarganya, sehingga apabila ada orang yang siap menjamin keluarga si mujahid tadi, ia pun dianggap sebagai mujahid” (Majmu’ Fatawa 10/722).

[3] Diriwayatkan oleh Al Bukhari (2843) dan Muslim (135 dan 1895), dari hadits Zaid bin Khalid Al Juhany t. Imam An Nawawi –rahimahullah– mengatakan: “Maksudnya: ia mendapat pahala akibat jihad orang tadi, dan pahala ini akan didapatkan pada setiap jihad, baik sedikit maupun banyak. Pahala tersebut juga diberikan bagi setiap orang yang menjamin kebutuhan keluarga si mujahid dengan baik; seperti menafkahi mereka atau membantu urusan mereka. Dan besar kecilnya pahala tersebut tergantung dari sedikit banyak bantuannya. Dalam hadits ini terkandung anjuran untuk membalas kebaikan orang yang berjasa terhadap Islam dan kaum muslimin, atau orang yang mengemban suatu tugas penting untuk mereka.

Al Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah– berkata: “Sabda Nabi yang bunyinya (…berarti ia ikut berjihad), menurut Ibnu Hibban maknanya ialah bahwa orang itu mendapat pahala yang sama, meskipun tidak terjun langsung ke medan jihad. Kemudia beliau menyitir hadits ini lewat jalur lain dari Busr bin Sa’id dengn lafazh: (كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِهِ شَيْئاً) yang artinya: “Dicatat baginya pahala seperti pahala si mujahid tadi, tanpa mengurangi pahala mujahid itu sedikitpun”. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban juga meriwayatkan hadits semakna dari Umar t yang lafazhnya:

مَنْ جَهَّزَ غَازِياً حَتىَّ يَسْتَقِلَّ كَانَ لَهُ مِثْلَ أَجْرِه ِحَتىَّ يَمُوْتَ أَوْ يَرْجِعَ .

“Barangsiapa mempersiapkan segala keperluan seorang mujahid hingga ia bisa menutup seluruh kebutuhannya, maka baginya paha seperti pahala mujahid tersebut sampai ia pulang atau gugur”. Dan hadits ini mengandung dua faedah; pertama: janji yang disebutkan tadi merupakan imbalan atas persiapan terbaik yang diberikan, dan inilah yang dimaksud dengan kata-kata (hingga ia bisa menutup seluruh kebutuhannya), kedua: pahala mereka berdua sama besarnya hingga peperangan tadi usai. (Fathul Baari 6/50).

[4] Diriwayatkan oleh Abu Dawud (2504), Ad Darimi (2/280), Ahmad (3/124,251), Al Baihaqy (2/6, 9/20), dan Al Hakim (2/91) dan katanya: “Shahih sesuai dengan syarat Muslim”, dari sahabat Anas bin Malik t, dengan lafazh:  yang artinya: (بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ)“Dengan harta, jiwa, dan lisan kalian”. Sedang salah satu lafazh Ahmad (3/153) bunyinya: (بِأَلْسِنَتِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وأَمْوَالِكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ) yang berarti: “Dengan lisan, jiwa, harta dan tangan kalian”. Sedang An Nasa’i meriwayatkan dalam As Sunanul Kubra (3/6) dan Al Mujtaba (6/7) dengan lafazh: (جَاهِدُوْا الْمُشْرِكِيْنَ بِأَمْوَالِكُمْ ِوَأَيْدِيْكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمَْ)  yang artinya: “Berjihadlah kalian melawan orang-orang musyrik dengan harta, tangan, dan lisan kalian”, sedang Ibnu Hibban (4708) meriwayatkannya dengan lafazh: (بِأَيْدِيَكُمْ وَ أَلْسِنَتِكُمْ). yang berarti: “Dengan tangan dan lisan kalian”.

* Faedah:

Al Mundziri –rahimahullah– berkata: “Mungkin yang dimaksudkan oleh ungkapan  (dengan lisan kalian) ialah sindiran lewat syair, karena Nabi e bersabda yang artinya: “Sungguh, sindiran lewat syair itu lebih cepat mengena dari pada lesatan anak panah”, tapi mungkin juga maksudnya menyeru dan menghimbau manusia supaya berangkat jihad dengan menjelaskan keutamaan-keutamaan jihad tersebut” (Syarhus Suyuthi lin Nasa’i, 6/7).

Al ‘Allaamah Syamsul Haq Al Abadi –rahimahullah– berkata: “Dalam subulus salam disebutkan bahwa hadits ini merupakan dalil atas wajibnya jihad dengan jiwa, yaitu terjun langsung ke medan perang melawan orang kafir; dan dengan harta, yaitu mendermakannya untuk urusan logistik dan persenjataan bagi mujahidin; dan dengan lisan, yaitu dengan menegakkan hujjah atas orang kafir dan menyeru mereka pada ajaran Allah, atau menggertak mereka, dan lain sebagainya yang intinya dapat menimpakan bencana terhadap musuh, Allah berfirman: “…dan tidaklah mereka menimpakan suatu bencana pun terhadap musuh, melainkan hal itu dicatat sebagai kebaikan bagi mereka”(At Taubah:120) (‘Aunul Ma’bud 7/182).

[5] Diriwayatkan oleh Al Bukhari (4423) dan  Muslim (1911, 159) dari Anas bin Malik t. Syaikhul Islam berkata: “Allah mengabarkan bahwa orang yang tetap tinggal di Madinah, yang terhalang oleh suatu udzur, adalah seperti mereka yang ikut serta dalam peperangan tersebut. Padahal kita semua tahu bahwa mereka yang berangkat perang, masing-masing akan mendapat pahala seorang mujahid fi sabilillah sesuai dengan kadar keikhlasannya; maka demikianlah orang yang tidak ikut berperang di jalan Allah yang terhalang oleh suatu udzur. Mirip dengan masalah ini, ada sebuah hadits yang terdapat dalam shahihain dari Abu Musa t, bahwa Rasulullah e bersabda:

« إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيْماً صَحِيْحاً»

“Pabila seorang hamba ditimpa sakit atau sedang bepergian, maka akan ditulislah baginya amalan-amalan yang biasa dikerjakannya sewaktu sehat dan menetap”. Itu karena seseorang yang biasa melakukan suatu amalan ketika sehat dan menetap, dan tidak pernah meninggalkannya kecuali karena sakit atau safar; berarti memang ia meninggalkannya karena tidak berdaya dan kesulitan, bukan karena lemahnya motivasi. Sebab ia memiliki kebulatan tekad dan semangat yang kuat sebagaimana mereka yang beramal, hanya saja kondisinya tidak mendukungnya untuk beramal. Sama halnya dengan mereka yang safar atau menderita penyakit-penyakit tertentu; walaupun keduanya tetap bisa beramal meski dengan susah payah, akan tetapi standar kemampuan seseorang menurut syari’at ialah pabila ia mampu mengamalkan sesuatu tanpa harus menimbulkan bahaya yang berarti bagi dirinya; sebagaimana firman Allah U: ( وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً) (آل عمران: من الآية 97) yang artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah” (Ali Imran:97), juga firman-Nya: (فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِيناً) (المجادلة: من الآية 4)yang artinya: “…dan barang siapa tidak sanggup, maka hendaklah ia memberi makan 60 orang miskin” (Al Mujadilah:4), dan ayat-ayat lain yang senada. Jadi, yang jadi tolok ukur dalam syari’at bukanlah kemampuan untuk mewujudkan suatu amalan bagaimanapun bentuknya, akan tetapi kemampuan tadi harus bebas dari efek samping, baik yang lebih buruk (dari amal itu sendiri), atau bahkan yang setara sekalipun” (Majmu’ Fatawa 10/722).

An Nawawi –rahimahullah– berkata: “Hadits ini menjelaskan tentang keutamaan berniat baik, dan barangsiapa berniat untuk ikut perang atau ibadah lainnya kemudian terhalang oleh suatu udzur, maka ia akan mendapat pahala tersebab niatnya. Dan semakin besar penyesalannya atas luputnya kebaikan yang selalu diangan-angankan –yaitu ikut serta memanggul senjata bersama para mujahidin—akan semakin besar pula pahalanya, wallahu a’lam” (Syarh Shahih Muslim 5/75).

[6] Diriwayatkan oleh Abu Dawud (2936), Ibnu Majah (1809), dan Tirmidzi (645), lalu katanya: “Hadits (ini) hasan shahih”, sebagaimana dishahihkan pula oleh Ibnu Khuzaimah (2334) dan Al Hakim (1/564), dan komentarnya: “(Hadits ini) shahih sesuai syarat imam Muslim”; dari hadits Rafi’ bin Khadiej t dengan lafazh:   «العَامِلُ فِي الصَّدَقَةِ بِالحَقِّ كَالْغَازِي فِي سَبِيلِ الله عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهِ»yang artinya: “Seorang pengumpul zakat (‘amil) yang bekerja dengan haq itu seperti seseorang yang sedang bertempur di jalan Allah hingga ia kembali menemui keluarganya”.

[7] Diriwayatkan oleh Ahmad (20,22), At Tirmidzi (1621) dan katanya hadits ini: “Hasan Shahih”, kemudian Ibnu Hibban (4706), Ath Thabarani (18/309) nomor 797, dan Al Qudha’iy dalam Musnad Asy Syihab (184), dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al Jihad (175), dari Fadhalah bin ‘Ubeid t. Redaksi hadits ini juga termuat dalam hadits Fadhalah bin ‘Ubeid berikutnya, yang diriwayatkan oleh Ahmad (3/154) dan Ibnu Hibban (510).

[8] Hadits dengan lafazh tersebut deRajatnya shahih, sebahagiannya ada dalam shahihain dan sisanya dishahihkan oleh At Tirmidzi, seperti yang diungkapkan oleh penulis dalam kitabnya yang berjudul As Siyasatus Syar’iyyah hal 42. Diriwayatkan oleh Al Bukhari (10) dari Abdullah bin ‘Amer t dengan lafazh: المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ  dan Muslim (41) dari Jabir t dengan lafazh: المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ , juga At Tirmidzi (2627) dari Abu Hurairah t dengan lafazh: المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، وَالمُؤْمِنُ مَنْ أَمنهُ النَّاسُ عَلَى دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ  lalu katanya: “Hadits (ini) hasan shahih”. Juga diriwayatkan oleh Ahmad (6/21,22), Al Hakim (1/10,11), Ibnu Hibban (4862), Abu Ya’la (7/199) nomor 4187 dari Fadhalah bin ‘Ubeid katanya; Rasulullah e bersabda ketika haji wada’:

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بالمُؤْمِنِ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلىَ أَمْوَالِهِمْ وأَنْفُسِهِمْ، والمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ النَّاسُ مِنْ لِسَانِهِ ويَدِهِ، والمجُاَهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ في طَاعَةِ اللَّهِ، والمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ الخَطَاياَ وَالذُّنـُوبَ.

“Mahukah kalian kuberi tahu tentang seorang mukmin (yaitu); orang yang manusia merasa bahwa harta dan jiwa mereka aman darinya, dan seorang seorang muslim (yaitu); orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya, dan seorang mujahid (yaitu); orang yang melawan hawa nafsunya demi menaati Allah, dan seorang muhajir (yaitu); orang yang meninggalkan setiap yang dosa dan kesalahan”. Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (510), Al Hakim (1/11) dan dishahihkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (1/54) dari Anas t dengan lafazh:

الْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلىَ أَمْوَالِهِمْ وأَنْفُسِهِمْ ، وَالْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ السُّوءِ.

“Seorang mukmin ialah orang yang manusia merasa bahwa harta dan jiwa mereka aman darinya, dan seorang muslim ialah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya sedang seorang muhajir ialah orang yang meninggalkan segala kejahatan”.

[9] Diriwayatkan oleh Ahmad (5/234), Abu Dawud (2515), An Nasa’i dalam As Sunanul Kubra (8730), dan dalam Al Mujtaba (6/49, 7/155), Ath Thabarani dalam Al Mu’jamul Kabir (20/91-92) dan dalam Musnad Asy Syamiyyin (1159), juga Al Hakim (8512), Al Baihaqy dalam Sunannya (9/168), dan dalam Syu’abul Iman (4265), dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al Jihad (133). Malik juga meriwayatkannya dalam Al Muwaththa’ (2/466) nomor 998, dari Yahya bin Sa’id dari Muadz bin Jabal secara mauquf. Hadits ini dihasankan oleh Al Albani dalam Silsilatus Shahihah nomor 1990.

* Faedah:

Al ‘Allaamah Az Zarqani –rahimahullah– berkata: “menginfakkan yang paling berharga” yakni dari hartanya yang paling bernilai, tapi mungkin juga yang dimaksud adalah harta yang halal tanpa tercampuri yang haram, termasuk yang syubhat. Atau boleh jadi maksudnya harta yang banyak, kalau infak di sini adalah infak dan sedekah bagi diri sendiri. Mungkin juga maksudnya adalah barang yang paling bagus, seperti berperang dengan mengendarai kuda yang paling cepat dan tangkas, yang sengaja ia pelihara untuk itu; atau mempersenjatai diri dengan senjata dan mesin perang paling canggih; jadi ia membelanjakan hartanya di jalan Allah guna membeli barang-barang tadi, kemudian ia menunggangi kudanya hingga lelah, atau memakai senjata dan mesin perangnya hingga rusak. Atau bisa juga maksudnya ketika seorang mujahid senantiasa memakai perlengkapan perangnya yang terbaik selama ia berjihad” (Al Muntaqa Syarhul Muwaththa’).

[10] Diriwayatkan oleh Al Bukhari (7458), dan Muslim (150, 1904).

*Faedah: Ibnu Taimiyyah –rahimahullah– berkata: “Manusia itu ada empat macam;

1.  Orang yang beramal untuk Allah diiringi keberanian dan kedermawanan; maka mereka itulah orang-orang mukmin yang pantas mendapatkan jannah.

2.  Orang yang beramal untuk selain Allah diiringi keberanian dan kedermawanan; maka manusia tipe ini hanya merasakan manfaat amalnya ketika di dunia saja, sedang di akherat ia tidak akan mendapat apa-apa.

3.  Orang yang beramal untuk Allah, tapi tidak diiringi keberanian dan kedermawanan; maka orang seperti ini menderita kemunafikan dan lemah iman sesuai dengan kadar kepengecutan dan kebakhilannya.

4.  Orang yang tidak beramal untuk Allah sekaligus tidak bersifat pemberani maupun dermawan; maka orang model ini tak akan beruntung di dunia dan akherat” (Majmu’ Fatawa 28/147).

[11] An Nikayah; dikatakan kamu berbuat nikayah jika kamu berhasil mencederai dan membunuh banyak musuhmu, hingga mereka menjadi lemah karenanya, (An Nihayah fi Gharibil Hadits, oleh Ibnul Atsier 5/117)

[12] Syaikhul Islam –rahimahullah– berkata: “Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari Rasulullah e, tentang cerita Ashabul Ukhdud (orang-orang yang menggali parit), yang dikisahkan di sana bahwa si Bocah itu memerintahkan agar dirinya dibunuh, karena hal itu membawa maslahat berupa kejayaan agama. Oleh karenanya, para ulama menyatakan bolehnya seorang muslim meleburkan diri ke tengah-tengah musuh –meskipun ia mengira bahwa mereka pasti menghabisinya– apabila hal itu mendatangkan kemaslahatan bagi umat Islam. Dan masalah ini telah kita bahas secara panjang lebar di tempat yang lain. Seandainya seseorang boleh melakukan sesuatu yang diyakini akan menyebabkan dirinya terbunuh demi kemaslahatan jihad, –padahal praktek membunuh diri sendiri itu lebih besar dosanya dibanding membunuh orang lain– maka terbunuhnya orang lain demi kemaslahatan dien yang tidak mungkin dicapai selain dengan cara itu, adalah lebih boleh lagi. Seperti ketika seseorang hendak menghentikan serbuan musuh yang merusak tatanan dunia dan agama, yang tidak bisa ditanggulangi kecuali dengan menyerang mereka” (Majmu’ Fatawa 28/540).

[13] Imam Asy Syafi’ie –rahimahullah– mengatakan: “Kurasa tidak mengapa, jika seseorang menye-rang sekawanan musuhnya seorang diri, atau menyergap salah seorang musuhnya, meskipun ia mengira bahwa kemungkinan besar ia akan terbunuh; karena Nabi e pernah menyaksikan penyergapan di hadapan beliau, demikian pula halnya dengan salah seorang anshar yang menyerang kaum musyrikin pada perang badar tanpa baju besi, yaitu setelah Nabi mengabarkan tentang keutamaan perbuatan tersebut; hingga akhirnya ia pun terbunuh” (Al Umm 4/92).

[14] Imam Ahmad –rahimahullah– pernah ditanya: “Seorang tawanan yang mendapati sebilah pedang atau senjata lain, kemudian ia nekad menyerang musuhnya padahal ia tidak tahu apakah bisa selamat nantinya atau tidak; apakah berarti ia mencelakai diri sendiri?” jawab beliau: “Tidakkah kamu mendengar apa jawaban Umar t ketika ada orang yang mengatakan kepadanya: “Sesungguhnya ayahku atau pamanku telah mencampakkan diri mereka pada kebinasaan…?”maka sahut Umar: “Justeru itulah orang yang membeli akherat dengan imbalan dunia mereka” (Masaail Imam Ahmad, menurut riwayat  Shaleh putera beliau 2/469).

Abu Dawud mengatakan: Aku mendengar Imam Ahmad pernah berkata: “Kalau ia tahu bakal ditawan, maka ia harus melawan meski akhirnya terbunuh; itu lebih aku sukai”, beliau juga mengatakan: “Jangan sampai ia jatuh sebagai tawanan, karena jadi tawanan itu amatlah berat…”. Abu Dawud melanjutkan: Aku mendengar bahwa Ahmad bin Hambal pernah ditanya tentang seorang tawanan yang sudah jatuh ke tangan musuh, bolehkah ia nekad melawan mereka?” jawab beliau: “Ya, kalau ia merasa mampu melawan mereka” (Masaail Imam Ahmad, oleh Abu Dawud 247), baca juga: Al Mughni (9/176), dan Kasysyaaful Qinaa’ (3/70).

* Al Mawardy –rahimahullah– berkata: Imam Ahmad mengatakan: “Aku tidak suka ada orang yang tunduk dijadikan tawanan; kalau ia melawan adalah lebih kusukai. Ditawan itu berat, sedangkan maut itu pasti akan datang juga”. ‘Ammar bin Yasir t pernah berkata: “Orang yang menyerah untuk ditawan, berarti ia menanggalkan perlindungan (Allah) atas dirinya”. Karenanya Al Ajurry mengatakan: “Ia berdosa karenanya, demikianlah pendapat Imam Ahmad”. Syaikh Taqiyyuddien menyebutkan bahwa: “Disunnahkan untuk meleburkan diri ke tengah-tengah musuh selama menguntungkan kaum muslimin; namun kalau tidak, maka haram baginya dan itu termasuk membinasakan diri sendiri” (Al Inshaf 4/125).

[15] Abu Bakar Al Jashshaash Al Hanafy (w. 370 H) –rahimahullah– berkomentar tentang firman Allah:

( وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ) (البقرة: من الآية 195)

“Berinfaklah kamu di jalan Allah, dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu dalam kebinasaan” (Al Baqarah:195). Beliau menyebutkan beberapa kondisi, di antaranya; “Orang yang nekad terjun ke kancah pertempuran tanpa menimpakan kerugian yang berarti di pihak musuh (nikayah); dan inilah asumsi sementara orang yang akhirnya dibantah oleh Abu Ayyub t (lihat hal 31), kemudian ia menceritakan tentang sebab turunnya ayat itu. Beliau –rahimahullah– melanjutkan: “Adapun menerapkan kondisi ini terhadap seseorang yang menyerang sepasukan musuhnya, maka Muhammad ibnul Hasan –sahabat dekat Abu Hanifah– menyebutkan dalam Asy Syarhul Kabir bahwa: “Bila ada seseorang yang nekad menyerang seribu orang musuhnya padahal ia seorang diri, maka hal itu tak mengapa selama ia optimis bisa selamat atau menimbulkan nikayah bagi musuhnya; namun jika ia tidak optimis bisa selamat atau menimbulkan nikayah, maka itu makruh menurutku; karena hal itu termasuk membinasakan diri sendiri tanpa ada manfaatnya bagi kaum muslimin”.

Seyogyanya, hal ini dilakukan seseorang ketika ia beranggapan kuat bisa menyelamatkan diri atau memberi suatu manfaat bagi kaum muslimin; jika ia tidak beranggapan kuat bisa selamat atau menimbulkan nikayah bagi musuhnya, namun sekedar membakar semangat kaum muslimin, hingga mereka terdorong untuk menirunya kemudian bertempur habis-habisan hingga gugur setelah menimbulkan nikayah bagi musuhnya; maka hal ini tidak mengapa insya Allah. Karena menurutku, kalau ia yakin bisa menimbulkan nikayah bagi musuhnya meskipun ia sangsi atas keselamatan dirinya, ia boleh untuk nekad menyerang; demikian pula jika ia yakin bisa memancing orang lain untuk menimbulkan nikayah bagi musuh setelah menyaksikan kenekadannya tadi… hal ini juga tak mengapa, bahkan aku berharap ia mendapatkan pahala karenanya. Sedang yang makruh baginya ialah jika perbuatannya itu tidak mendatangkan manfaat sama sekali. Meskipun ia sangsi bisa selamat atau menimbulkan nikayah, tapi jika perbuatannya itu menggentarkan musuh, maka ini juga tak mengapa; karena ini merupakan nikayah yang paling afdhal dan mengandung manfaat bagi kaum muslimin.

Kondisi-kondisi yang disebutkan oleh Muhammad tadi adalah benar, dan selain itu tidak boleh. Dan kepada makna-makna yang seperti inilah kita membawa pemahaman mereka yang menyangka bahwa temannya telah menjerumuskan dirinya sendiri dalam kebinasaan, yaitu ketika nekad menyerang musuh sendirian seperti dalam hadits Abu Ayyub t (lihat hal 31); itu dikarenakan perbuatannya tidak mendatangkan manfaat apa pun, dan jika memang demikian halnya, maka tidak boleh baginya untuk membinasakan diri tanpa mendatangkan manfaat bagi Islam dan kaum muslimin. Akan tetapi kalau kebinasaan dirinya akan mendatangkan manfaat bagi Islam dan kaum muslimin, maka inilah kedudukan yang mulia, yang karenanya Allah memuji para sahabat dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, jiwa dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; lalu mereka membunuh atau dibunuh…” (At Taubah:111), dan firman-Nya: “Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, bahkan mereka hidup di sisi Tuhannya sambil diberi rezeki” (Ali Imran:169), juga firman-Nya: Dan diantara manusia ada orang-orang yang menjual dirinya demi mencari keridhaan Allah…” (Al Baqarah:207). Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang di sana Allah U memuji seseorang yang rela mengorbankan dirinya karena-Nya… (Ahkaamul Qur’an 3/360), lihat juga: Haasyiyah Ibnu ‘Abidin 4/127.

[16] Al ‘Allaamah Al Qurthuby Al Maliky –rahimahullah– mengatakan: “Para ulama berbeda pendapat mengenai seseorang yang menerobos barisan musuh, dan menyerang mereka seorang diri; menurut Al Qasim bin Mukhaimarah, Al Qasim bin Muhammad dan Abdul Malik dari ulama mazhab kami: Tidak mengapa jika seseorang menyerang pasukan musuh yang berjumlah besar seorang diri, kalau ia memiliki kekuatan untuk itu dan niatnya ikhlas karena Allah. Namun tanpa adanya kekuatan, hal itu berarti menjerumuskan diri dalam kebinasaan.

Pendapat lain mengatakan: Kalau ia mencari syahadah (mati syahid) dan niatnya ikhlas untuk itu, silakan ia melakukannya; karena targetnya adalah salah satu dari mereka, dan hal ini jelas sekali dalam firman Allah:Dan diantara manusia ada orang-orang yang menjual dirinya demi mencari keridhaan Allah…” (Al Baqarah:207).

Ibnu Juwaiz Mandad berkata: “Kalau ada seseorang melawan seratus orang, atau sepasukan musuh, atau segerombolan penyamun, atau kaum pemberontak dan orang-orang khawarij; maka ia tidak lepas dari dua kondisi: kalau ia tahu dan beranggapan kuat bisa menghabisi targetnya kemudian meloloskan diri, maka hal ini baik. Demikian halnya kalau menurut perkiraan ia akan tewas setelah menimbulkan nikayah dan bencana bagi musuh yang sangat bermanfaat bagi kaum muslimin, maka hal ini pun boleh. Ada kabar yang sampai kepadaku bahwa ketika pasukan Islam menghadapi tentara Persia, kuda-kuda mereka lari ketakutan melihat gajah yang ditunggangi pihak Persia. Akhirnya ada salah satu tentara Islam yang membuat patung gajah dari tanah, dan menjinakkan kudanya dengan patung gajah itu sampai kudanya tidak takut lagi melihatnya. Keesokan harinya, kuda tunggangannya itu tidak lagi lari ketakutan sebagaimana kuda kaum muslimin lainnya, maka ia pun dengan gagah berani menyerang gajah yang paling depan… Orang-orang pun berteriak kepadanya: “Hei… ia pasti membunuhmu!!” tapi jawabnya: “Biarlah aku mati, asal kaum muslimin menang…”. Begitu juga yang terjadi pada perang Yamamah ketika Bani Hanifah bertahan pada sebuah benteng di dalam kebun… maka salah seorang kaum muslimin mengatakan: “Taruhlah aku di atas mesin lontar dan lontarkan aku ke dalam kebun itu”, mereka pun melakukannya dan orang tadi akhirnya berhasil membuka pintu setelah bertempur mati-matian seorang diri.

Aku berpendapat: di antara dalil dalam masalah ini ialah ketika salah seorang berkata kepada Nabi e: “Bagaimana menurut anda kalau aku terbunuh fi sabilillah dalam keadaan sabar dan penuh harap?” jawab beliau: “Kamu mendapatkan surga”, maka orang itu pun meleburkan dirinya ke tengah-tengah musuh sampai terbunuh.

Disebutkan dalam Shahih Muslim, dari Anas bin Malik t bahwa Rasulullah e dalam perang Uhud sempat terdesak bersama tujuh orang anshar dan dua orang Quraisy. Ketika musuh terus mendesak beliau, beliau berseru: “Siapa yang bisa memukul mundur mereka dariku, dan baginya surga…?!”, atau katanya: “… ia akan menjadi pendampingku di surga?!”. Maka salah seorang dari kaum anshar maju menyerang hingga ia terbunuh… kemudian mereka mendesak lagi dan beliau kembali berseru: “Siapa yang bisa memukul mundur mereka dariku, dan baginya surga…?!”, atau katanya: “… ia akan menjadi pendampingku di surga?!”. Maka maju lagi salah seorang anshar yang lain, dan ia bertempur hingga akhirnya terbunuh; dan demikian seterusnya hingga ketujuh orang tadi gugur semuanya. Maka Rasulullah bersabda (dalam riwayat ini): مَا أَنْصَـفْـناَ أَصْحَابَـنَا –(dengan sukun pada fa’ dalam kata anshafna, dan fathah pada ba’ dalam kata ashaabana)– yang artinya: “Kita belum mengajari mereka cara berperang, hingga mereka gugur semua”. Hadits tadi juga diriwayatkan dengan lafazh: مَا أَنْصَـفَـناَ أَصْحَابـُناَ (dengan fathah pada  fa’ –anshafana dan dhammah pada ba’-ashaabuna)—yang artinya: “Sahabat-sahabat kita (hari ini) sungguh tidak adil kepada kita”, maksud beliau ialah sebagian sahabat yang lari meninggalkan beliau, wallaahu a’lam.

Muhammad ibnul Hasan berkata: “Kalau seseorang menyerang seribu orang tentara musyrik seorang diri, itu tidak mengapa, selama ia optimis bisa selamat atau menimbulkan nikayah bagi musuh; tapi kalau tidak begitu maka hukumnya makruh, karena ia membahayakan dirinya sendiri tanpa suatu manfaat. Kalau ia bermaksud agar kaum muslimin menjadi berani kepada musuhnya, hingga mereka berbuat yang serupa dengannya, maka ini pun dibolehkan, karena masih mengandung manfaat dari beberapa sisi. Atau jika ia bermaksud menggentarkan musuh, agar mereka mengetahui kegigihan kaum muslimin, ini juga masih dibolehkan. Dan jika akhirnya ia binasa demi kejayaan agama dan berhasil mendatangkan manfaat bagi kaum muslimin, maka itulah kedudukan mulia yang Allah sebut-sebut dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, jiwa dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka…” (At Taubah:111), dan masih banyak lagi ayat-ayat pujian lainnya terhadap orang yang mengorbankan dirinya” (Tafsir Al Qurthuby 2/363,364).

bersambung…